Minggu, 07 Juli 2013

PERTANYAAN TENTANG TUHAN

 أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran-Nya). Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Zahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (Qs. Al-Hadid [57]:1-6) Setelah menerjemahkan ayat di atas, dalam menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kami akan menjelaskan sebuah riwayat kemudian memberikan analisa ringkas atas riwayat tersebut. Hisyam bin Hakam yang merupakan salah seorang murid Imam Shadiq As, menukil bahwa seseorang bernama Abu Syakir Daishani, seorang penyembah dualism, berkata kepadaku bahwa dalam al-Qur’an Anda terdapat sebuah ayat yang menegaskan pemikiran kami yang berdasarkan penyembahan dualisme! Saya berkata, “Ayat yang mana?” Ia berkata, “Wa huwalladzi fi al-samâ ilahun wa fi al-ardh ilahun.
”[1] Artinya Dia adalah Tuhan (yang disembah) di langit dan Dialah Tuhan (yang disembah) di bumi. (karena itu tampak ada dua tuhan). Saat itu aku tidak menemukan jawaban untuk aku sampaikan hingga aku mengabarkan hal ini kepada Imam Shadiq As pada hari-hari haji. Imam Shadiq As bersabda, “Tatkala Anda pulang, tanyalah kepadanya bahwa siapa nama Anda di kota Kufah? Maka ia akan menyampaikannya kepada Anda (namanya di kota Kufah)! Kemudian tanya lagi siapa nama Anda di kota Basrah ? Tentu ia akan mengulang nama yang sebelumnya telah disampaikan. Kemudian sampaikan kepadanya Tuhan kami juga demikian adanya! Dia adalah Tuhan (yang disembah) di langit dan Dia adalah Tuhan. Dia adalah Tuhan di laut dan Tuhan di di sahara. Dia adalah Tuhan (yang disembah) di mana pun!
”[2] Dengan memperhatikan riwayat yang telah dijelaskan harap Anda perhatikan dua poin berikut ini: Poin pertama, riwayat lain yang menyoroti sebagian pertanyaan Anda yang menjelaskan nukilan dari Allah Swt, “Bumi dan langit tidak dapat memuatku. Namun aku termuat dalam hati hamba-Ku yang beriman.
”[3] Dengan asumsi bahwa hadis ini sahih,
[4] pertanyaan Anda adalah bahwa apabila Anda berkata kepada sahabat Anda bahwa ia berada di hati Anda atau hatinya berdenyut untuk Anda makna dari ucapan sarat cinta ini bahwa Anda menempatkan jasmani fisiknya dalam hati Anda atau hati Anda menempati badannya dan mengalirkan darah ke seluruh anggota badannya? Tentu saja tidak demikian adanya. Kalimat seperti ini menunjukkan cinta yang melimpah Anda kepada sahabat Anda. Dengan demikian, apabila Tuhan menjelaskan bahwa Aku termuat dalam hati hamba-Ku yang beriman. Makna dari penjelasan Tuhan ini adalah bahwa hamba tersebut memiliki hubungan akrab dan lekat dengan Tuhannya, bukan bahwa Tuhan itu adalah jasmani yang menempati hati yang terangkum dalam ruang dan waktu, melainkan harus diketahui bahwa Dia adalah Pencipta ruang dan waktu yang memiliki tipologi material. Karena itu, tidak benar mencirikan dan mendeskripsikan Tuhan dengan tipologi seperti ini. Poin kedua, pada konteks ini, arasy Tuhan tidak dapat ditafsirkan sebagai sebuah tempat khusus yang diduduki Tuhan. Tuhan menjelaskan banyak redaksi kalimat terkait dengan arasy.
[5] Sekali waktu, menyebut diri-Nya sebagai Tuhan pemilik arasy
”[6] Pada ayat lainnya dengan menyebut dirinya “pemilik arasy.
”[7] dan terkadang duduk di atas arasy.
”[8] Jelas bahwa kita tidak dapat menafsirkan “arasy” pada seluruh ayat di atas dengan satu penafsiran tunggal. Mengikut Allama Majlisi, redaksi “arasy”, harus diperhatikan konteks penggunaan kalimatnya. Dengan memperhatikan konteks penggunaan kalimatnya maka makna khusus (kalimat) itu dapat dipahami. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan tingkat tinggi tentang ketuhanan.
”[9] Atas dasar itu, dengan memperhatikan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang tidak seperti bahasa-bahasa lainnya, di samping ia memiliki makna primer dan hakiki ia juga memiliki makna sekunder dan kiasan, maka harus dicermati penggunaan redaksi “istawa ‘ala al-arsy” yang terdapat dalam al-Qur’an dan menjadi sumber ketidakjelasan Anda. Beberapa makna dapat digambarkan atas kalimat “istawa ‘ala al-arsy” ini: Dalam kamus-kamus Arab, terdapat beberapa makna penggunaan “istawa.” Di antaranya, duduk, naik ke atas, muncul, menguasai dan seterusnya…
[10] Jelas bahwa seluruh makna ini tidak dapat menjadi dalil bahwa tempat dan kedudukan Tuhan disebut sebagai arasy! Coba Anda cermati sedikit syair berikut ini yang digunakan dalam menafsirkan salah satu makna “istawa,” Qad istawa Basyar ‘ala al-Irâq Min ghairi shaif wa dam Mahrâq Seseorang bernama Basyar telah menguasai Irak Tanpa menggunakan pedang dan menumpahkan darah Apakah penggunaan redaksi “istawa” pada syair ini menunjukkan bahwa panglima perang itu, menempati seluruh negeri Irak? Tafsir seperti ini tidak dapat diterima sekali-kali oleh mereka yang belajar sastra Arab. Karena itu, dengan memperhatikan kaidah-kaidah sastra dan tafsir maka tafsir istawa ‘ala al-arasy yang disebutkan pada ayat-ayat di atas bermakna sebuah tempat yang diduduki Tuhan di dalamnya sekali-kali tidak dapat diterima. Boleh jadi pertanyaan yang kemudian hadir dalam benak Anda, bahwa karena kita memandang Tuhan sebagaimana entitas-entitas dan makhluk-makhluk material lainnya, maka semestinya Dia harus mendiami ruang dan waktu lain selain hati dan arasy lalu bertanya dimanakah Dia gerangan berada? Jawaban sederhana dan globalnya bahwa Tuhan bukan dari jenis materi sehingga Dia memerlukan tempat. Mengingat sepanjang sejarah, banyak orang berhadapan dengan keburaman ini dan bahkan orang-orang beriman juga banyak menyalahkan diri sendiri untuk dapat memahami secara akurat persoalan ini maka kami memandang perlu menyampaikan beberapa persoalan penting sebagai berikut: Apabila kita melakaukan pelancongan terhadap al-Qur’an dan riwayat maka kita akan mendapatkan poin ini bahwa orang lebih banyak memperkenalkan Tuhan melalui jalan berpikir dan berkontemplasi serta bagaimana Tuhan mengelola alam semesta ketimbang menetapkan bagaimana Tuhan berikut tipologi-Nya itu kepada masyarakat.
[11] Suatu waktu Rasulullah Saw berhadapan dengan sebuah kelompok yang sedang berpikir. Rasulullah Saw bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian pikirkan?” Mereka menjawab kami sedang memikirkan tentang ciptaan-ciptaan Tuhan! Sembari menyokong perbuatan mereka, Rasulullah Saw menganjurkan kepada mereka untuk melanjutkan cara seperti ini dan menghindar untuk memikirkan Tuhan itu sendiri.
”[12] Imam Askari As juga dalam menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya tentang bagaimana Tuhan itu, pertama-tama menjelaskan bahwa Tuhan tidak menghendaki kalian untuk bertanya seperti itu. Kemudian Imam Askari memberikan penjelasan dalam kaitannya dengan Tuhan.
[13] Bagaimanapun tema ini tidak terkhusus pada masalah ini saja, melainkan juga termasuk pengetahuan manusia demikian adanya: Meski kita meyakini adanya miliaran galaksi yang masing-masing mengandung jutaan bintang dan kita tidak memiliki secuil pun keraguan tentangnya namun apabila tanpa melalui pendahuluan-pendahuluan ilmu perbintangan dan bahkan dengan melaluinya sekali pun, apabila kita ingin konsentrasi memikirkan bagaimana penciptaan satu-satu galaksi-galaksi dan bintang-bintang tersebut maka kita berhadapan dengan sebuah dunia yang penuh ketakjuban dan keheranan sedemikian sehingga tidak ada pekerjaan yang kita lakukan, meski seluruhnya adalah ciptaan Tuhan yang tidak seorang pun punya hubungan dengannya, maka kita tidak akan memperoleh ilmu yang sempurna.
[14] Namun demikian, harap diperhatikan bahwa seluruh apa yang disampaikan di atas tidak bermakna bahwa hal ini merupakan larangan adanya riset dan berpikir tentang Tuhan secara keseluruhan, melainkan orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi, baik dari sisi keilmuan dan spiritualitas, dapat melakukan hal ini dengan memperhatikan syarat-syarat dalam hal ini. Harap Anda perhatikan riwayat di bawah ini: “Imam Sajjad As ditanya tentang makrifatullah. Beliau menjawab bahwa di akhir zaman akan datang orang-orang yang jeli dan berpikir sublim mengetahui dengan baik tafsiran surah Tauhid dan juga ayat-ayat surah al-Hadid yang menyinggung tipologi Tuhan (ayat-ayat yang dijelaskan pada pendahuluan di atas).
” [15] Dengan kata lain, apabila bukan karena mereka, ayat-ayat ini tidak akan diturunkan. Kaum Muslimin yang semasa dengan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum tidak mampu memahami makna hakiki ayat-ayat ini! Atas dasar itu, meski kami tidak melarang secara mutlak pemikiran akurat, subtil dan sublim tentang Tuhan berikut tipologi wujud-Nya namun harus dikatakan orang-orang beriman secara umum tidak diminta untuk bersikap jeli dan teliti dalam hal ini. Mereka juga rata-rata tidak mampu untuk melakukan hal itu. Hanya bagi orang-orang yang telah menyiapkan pelbagai pendahuluan yang lumayan pelik memiliki hubungan maknawi yang kuat dengan Tuhan.
 Selain itu, masuknya orang lain dalam hal ini tidak akan memberikan kegunaan dan faidah bagi mereka kecuali kebingungan dan ketercengangan.
[1]. (Qs. Al-Zukhruf [43]:84)
[2]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 128, hadis 10, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 55, hal. 39, Muasssah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[4]. Karena riwayat ini tidak memiliki sanad-sanad muktabar yang dapat dijadikan sebagai sandaran.
[5]. Terkait dengan makna arasy dan kursi, kami persilahkan Anda melihat  (Qs. Al-Taubah [9]:129); (Qs. Al-Anbiya [21]:22); (Qs. Al-Mukminun [23]:86 & 116);
[6](Qs. Al-Naml [27]:26); (Qs. Al-Zukhruf [43]:82), Rabb al-Arsy ‘amma yashifun.
[7]. (Qs. Al-Ghafir [40]:15); (Qs. Al-Buruj [85]:15); (Qs. Al-Isra [17]:42); (Qs. Al-Ankabut [29]:20).
[8]. (Qs. Al-A’raf [7]:54); (Qs.Yunus [10]:3); (Qs. Al-Ra’ad [13]:3) (Qs. Thaha [20]:5); (Qs. Furqan [24]:59); (Qs. Al-Sajdah [32]:4); (Qs. Al-Hadid [57]:4)
[9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 55, hal. 31.
[10]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 14, hal. 414.
[11]. (Qs. Ali Imran [3]:191); (Qs. Yunus [10]:24); (Qs. Al-Ra’ad [13]:3); (Qs. Al-Nahl [16]:11 dan 69); (Qs. Al-Rum [30]:21); (Qs. Al-Zumar [35]:42); (Qs. Al-Mulk [67]:3-4) dan puluhan ayat lainnya.
[12]. Warram bin Abi Firas, Majmû’e Warrâm, jil. 10, hal. 250, Intisayarat-e Maktabat al-Faqih, Qum, tanpa tahun.
[13]. Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 260, hadis 10.
[14]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 103, hal. 12.

sumber internet
WACANA TAUHID

 أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang يَنْبَغِى لِكُـلِّ شَارِعٍ فِى فَنٍّ مِنَ الفُنُونِ أَنْ يَتَصَوَّرَهُ وَيُعَرِّفَهُ قَبْلَ الشُّرُوْعِ فِيْهِ لِيَكُونَ عَلَى بَصِيْرَةٍ فِيْهِ وَيَحْصُلُ التَّصَوُّرُ بِمَعْرِفَةِ المَباَدِى العَشَرَةِ المَنْظُومَةِ فىِ قَولِ بَعْضِهِمْ : Seyogya yang mengandung pahala sunnah, bagi setiap orang yang hendak mempelajari suatu ilmu, terlebih dahulu harus mengetahui penguraian-penguraian ilmu yang akan di pelajari, dengan harapan agar senantiasa dapat mewaspadai ilmu yang akan di pelajari, dan penguraian-penguraian ilmu itu adalah dengan cara megenali 10 macam kerangka ilmu, sebagaimana penjelasan sya’ir yang di abadikan sebagian Ulama : إِنَّ مَباَدِى كُـلَّ فَنٍّ عَشْـرَةُ * الحَـدُّ وَالمَوْضـُوعُ ثُمَّ الثَّـمْرَةُ وَفَضْـلُهُ وَنِسْـبَةٌ وَالوَاضِـعُ * الإِسْمُ الإِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ مَسَائِلٌ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى * وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّـرَفاَ Ø Sesungguhnya kerangka ilmu itu berjumlah sepuluh Definisinya, penempatannnya serta hasilnya Ø Keutamaannya, perbandingannya dan penciptanya Namanya, sumbernya, hukum agamanya Ø Dan masalah-masalahnya, cukup diuraikan sebagian Namun siapa yang uraikan semua, dapatkan kemuliaan. وَالآنَ نُشَرِعُ فِى فَنِّ التوَّحِيْدِ فَنَقُولُ : Dan sekarang kita akan mempelajari ilmu tauhid, maka saya katakan ; حَدُّهُ : عِلْمٌ يَقْتدِرُ بِهِ عَلىَ إِثبْاَتِ العَقَائِدِ الدِّنِيَّةِ مُكْتَسِبٌ مِنْ أَدِلَّتِهَا اليَقِيْنِيَّةِ

1. Batasan ( definisi ) ; Batasan ilmu tauhid adalah suatu ilmu yang menjadi pedoman untuk menetapkan aqidah agama Islam yang di ambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. وَمَوْضُوعُهُ : ذَاتُ اللهِ تَعاَلىَ وَصِفَاتُهُ بِحَيْثُ ماَيَجِبُ لَهُ وَماَ يَسْتَحِيْلُ وَماَيَجُوْزُ وَذَاتُ الرُّسُلِ كَذَلِكَ وَالمُمْكِنُ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ يُتَوَصَلُ بِهِ اِلىَ وُجُودِ صَانِعِهِ وَالمُسْمَعِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ اِعْتِقَادِهَا بِذَاتِهِ تَعَالىَ وَذَاتِ رُسُلِهِ وَماَيَنْبَعُ مِنْ ذَلِكَ

2. Penempatan ( ruang lingkup ) ; Penempatan atau letak ilmu tauhid adalah pada menerangkan Dzat dan sifat Allah sekiranya sesuatu yang wajib, yang mustahil dan Hak preogratif di Allah Swt, menerangkan Dzat dan sifat para Rosul ( utusan Allah ), menerangkan sesuatu yang mungkin, sekiranya menjadi dalil atas wujud Allah Swt, serta menerangkan sesuatu yang terdengar, yang harus di yakini pada Dzat Allah dan Dzat para Rosul-rosul Nya, juga menerangkan yang muncul dari hal-hal demikian. وَثَمْرَتُهُ : مَعْرِفَةُ اللهِ وَصِفَاتهُ بِالبُرْهَانِ القَطْعِيَّةِ وَالفَوْزُ بِالسَّعَادَةِ الأَبَدِيَّةِ

3. Buah ( hasilnya ) ; Hasil mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan sifat-sifatnya dengan berdasarkan dalil-dalil yang pasti serta mendapatkan kebahagiaan yang kekal

وَفَضْلُهُ : مَعْرِفَةُ مَايُطْلَبُ اِعْتِقَادُهُ 4. Keutamaan ( kelebihannya ) ; Keutamaan ilmu tauhid adalah mengenal sesuatu yang harus di yakini hingga menjadi sebuah aqidah dan keyakinan dalam agama Islam.

وَنِسْبَتهُ : أَنَّهُ أَصْلُ العُلُوْمِ وَماَسِوَاهُ فَرْعٌ 5. Perbandingan ilmu tauhid dengan Ilmu lainnya ; Perbandingan ilmu tauhid dengan ilmu-ilmu lainnya adalah bahwa ilmu tauhid adalah akar atau sumber semua ilmu dan selain ilmu tauhid adalah cabang-cabangnya. وَوَاضِعُهُ : أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِى وَمَنْ تَبِعَهُ وَأَبُو مَنْصُوْرِ الماَتُرِدِى وَمَنْ تَبِعَهُ بِمَعْنَى أَنَّهُمْ دَوَّنوُا كُتُبَهُ وَرَدُّوْا الشِّبْهَ الَّتِىْ أَوْرَدَتْهَا المُعْتَزِلَةُ وَاِلاَ فَلاَيَصِحُّ ِلأَنَّ التَّوْحِيْدَ جَاءَ بِهِ كُلُّ نَبِىٍّ مِنْ لَدُنِ أَدَمَ إِلىَ يَوْمِ القِيَامَةِ

6. Pencipta ( penyusun ) ; Pencipta ilmu tauhid adalah Syekh Abul Hasan Al ‘Asy’ariy serta pengikutnya dan Syekh Abu Mansur Al Maturidiy serta pengikutnya. Pencipta di sini artinya adalah mereka yang menulis serta menyusun buku-buku tauhid dan menyangkal faham-faham sesat yang di kemukakan kaum Mu’tazilah atau kaum-kaum sesat lainnya, pencipta disini diartikan menulis kitab-kitab tentang pelajaran tauhid karena tidaklah betul ilmu tauhid di ciptakan oleh mereka secara sesunguhnya, karena ilmu tauhid telah ada di bawa oleh setiap Nabi-nabi dari semenjak Nabi Adam as. Hingga zaman Nabi Muhammad di hari Qiyamah. وَاسمُهُ : عِلْمُ التَّوْحِيْدِ لأَنَّ مَبْحَثَ الوَحْدَانِيَّةِ أَشْهَرُ مَباَحِثهِ , وَيُسَمىَّ أَيْضًا عِلْمُ الْكَلاَمِ لأَنَّ المُتَقَدِّمِيْنَ كاَنوُا يَقُولُونَهُ فىِ التَرْجَمَةِ عَنْ مَباَحِثِ الكَلاَمِ

7. Nama ; Ilmu ini di namakan dengan ilmu “Tauhid” artinya meng-esa-kan, karena bahasan meng-esakan Allah dalam ilmu ini lebih populer dari pada bahasan yang lainnya, di namakan pula dengan ilmu “Kalam” karena Ulama terdahulu sering mengatakan ilmu tauhid dengan ilmu kalam dalam menterjemahkan dari pembahasan-pembahasan ilmu ini

وَاسْتِمْدَادُهُ : مِنَ الأَدِلَّةِ العَقْلِيَّةِ وَالنَّقْلِيَّةِ القُرْآنِ وَالحَدِيْثِ 8. Nara Sumber ; Sumber ilmu tauhid adalah dari dalil-dalil logika dan dalil-dalil Naqliyyah (Kutifan) dari Al-Qur’an dan Al-Hadits وَحُكْمُهُ : شَرْعًا وُجُوْبُ العَيْنِى عَلىَ كُلِّ مُكَلَّفٍ وَكَذَا طَلَبٌ فِيْهِ

9. Hukum ; Hukum mempelajari ilmu tauhid menurut agama Islam adalah wajib ‘Aeni([1]) atas setiap mukallaf([2]) demikan juga sama halnya menuntut ilmu tersebut juga hukumnya wajib ‘Aeni.

وَمَسَائِلُهُ ؛ اَلقَـضاَياَ الباَحِـثَةُ عَنِ الواَجِباَتِ وَالجَائِزاَتِ وَالمُسْتَحِيْلاَتِ 10. Masalah-masalah ( perihal ) ; Masalah-masalah ilmu tauhid adalah kaidah-kaidah yang membahas hal-hal wajib, membahas hak-hak preogratif dan juga membahas hal-hal yang mustahil. URAIAN BISMILLAH VERSI ILMU TAUHID وَيَنْبَغِى أَيْضًا لِكُلِّ شَارِعٍ فِى فَنٍّ مِنَ الفُنُونِ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِطَرْفِ البَسْمَلَةِ مِمَّايُنَسِبُ ذَلِكَ الفَنَّ وَفَاءً بِحَقِّ البَسْمَلَةِ وَوَفَاءً ِبِحَقِّ الفَنِّ المَشْرُوعِ , وَحَقُّ الفَنِّ أَنْ يَتَكَلَّمَ الشاَّرِعُ بِطَرْفِ البَسْمَلَةِ مِمَّايُنَاسِبُ ذَلِكَ الفَنَّ المَشْروُعِ , وَحَقُّ البَسْمَلَةِ أَنْ لاَيَتْرُكَ الكَلاَمَ عَلىَ البَسْمَلَةِ رَأْسًا Seyogya yang mengandung nilai pahala sunnah juga, bagi orang yang hendak mempelajari sebuah ilmu adalah agar mengenali sepucuk uraian Bismillah menurut ilmu yang akan di pelajari, karena mengenal sepucuk uraian Bismillah adalah memenuhi hak Bismillah dan memenuhi hak ilmu yang di pelajari, hak ilmu adalah harus membicarakan sepucuk bahasan Bismillah sesuai dengan ilmu tersebut, sedangkan hak Bismillah adalah sama sekali tidak meninggalkan membicarakan bahasan uraian Bismillah. وَالآنَ نُشَرِعُ فىِ فَنِّ التَّوْحِيْدِ فَيَنْبَغِىعَلَيْنَا أَنْ نَتَكلَّمَ ِبِطَرْفِ البَسْمَلَةِ مِمَّايُنَسِبُ الفَنَّ التوَّحِيْدِ Saat ini kita hendak mempelajari ilmu tauhid maka selayaknya kita terlebih dulu membicarakan sepucuk bahasan Bismillah sesuai dengan ilmu tauhid. فَنَقُولُ أَنَّ حَرْفَ البَاءَ فىِ البسْمَلَةِ إِمَّا لِلْمُصَاحَبَةِ عَلىَ وَجْهِ التَّبَارُكِ أَوِْللأِسْتِعَانَةِ كَذَلِكْ وَلاَمَانِع مِنَ الأِسْتِعَانَةِ بِاِسْمِهِ تَعَالَى كَمَايُسْتَعَانُ بِذَاتِهِ. Maka kami katakan bahwa huruf Ba pada permulaan kalimat Bismillah adakalanya mengandung arti kebersamaan dengan Allah dari sisi memohon keberkahan dengan menyebut nama Allah, adakalanya juga mengandung arti memohon pertolongan pada Dzat Allah dengan menyebut nama Nya, dan tidak terlarang memohon pada nama Allah Swt sebagaimana memohon pertolongan pada Dzat Nya. وَالأَوْلىَ جَعْلُهَا لِلْمُصَاحَبَةِ عَلىَ وَجْهِ التَّبَارُكِ أَوْ عَلىَ وَجْهِ الأِسْتِعَانَةِ بِذَاتِه تَعَالىَ ِلأَنَّ جَعْلَهَا لِلأِسْتِعَانَةِ بِاِسْمِهِ إِسَاءَةُ الأَدَابِ. Dan yang paling utama adalah menafsirkan arti huruf Ba tersebut dengan arti kebersamaan dari sisi memohon keberkahan dengan menyebut nama Allah Swt. Atau dengan arti memohon pertolongan pada Dzat Allah, karena memohon pertolongan pada nama Allah adalah perbuatan tercela yang tercela. ِلأَنَّ الإِسْتِعَانَةَ تَدْخُلُ عَلىَ الآلَةِ فَيَلْزَمُ عَلَيْهَا جَعْلُ إِسْمِ اللهِ مَقْصُودًا لِغَيْرِهِ لاَ لِذَاتِهِ. Karena memohon pertolongan adalah masuk pada penggunaan alat, seandainya memohon pertolongan itu pada nama Allah, maka nama Allah di jadikan sebagai alat yang memungkinkan maksud pada selain Allah, bukan tujuan pada Dzat Allah Swt. Memungkinkan bermaksud atau bertujuan memohon kepada selain Allah adalah terlarang dan menimbulkan kekufuran. اِلاَّ أَنْ يُقَالَ أَنَّ مِنْ جَعْلِهَا لِلأِسْتِعَانَةِ بِاسْمِهِ نَظْرًا اِلىَ جِهَةِ الأُخْرَى وَهِىَ أَنَّ الفَعْلَ المَشْرُوْعُ فِيْهِ لاَ يَتِمُّ عَلىَ وَجْهِ الأَكْمَلِ اِلاَّ بِاِسْمِهِ تَعَالىَ لَكِنْ قَدْ يُقَالُ مَظَنَّةُ الأِسَاءَةِ الأَدَابِ مَازَالَتْ مَوْجُوْدَةً Kecuali apa bila di ucapkan, bahwa menjadikan arti huruf Ba dengan memohon pertolongan pada nama Allah swt, adalah karena melirik ke sisi lain, yaitu melirik pada pengakuan alasannya, bahwa perbuatan yang hendak dilakukan seiring membaca Bismillah adalah tidak sempurna kecuali dengan menyebut nama Allah. Akan tetapi pengakuan alasan ini seperti inipun masih rentan menimbulkan dugaan yang salah hingga berakibat kekufuran yang selalu ada karenanya. Kesimpulannya bahwa huruf Ba tidak boleh di artikan memohon pertolongan kepada nama Allah Swt, akan tetapi sesungguhnya memohon pertolongan itu adalah pada Dzat Allah Swt, bukanlah pada nama. وَمَعْنَى الباَءِ الإِشاَرِىُّ بِى كَانَ مَاكَانَ وَبِى يَكوُنُ مَايَكوُنُ وَحِيْنَئِذٍ يَكوُنُ فىِ البَاءِ إِشَارَةٌ اِلىَ جَمِيْعِ العَقَائِدِ ِلأَنَّ المُرَادَ بِى وَجَدَ مَاوَجَدَ وَبِى يوُجَدُ مَايوُجَدُ Makna huruf Ba dari sisi isyarat yang terkandung di dalamnya adalah Allah Swt berkata, “Olehku telah terjadi sesuatu telah terjadi, olehku pula akan terjadi sesuatu akan terjadi” dari arti ini huruf Ba merupakan pertanda dari semua unsur aqidah, karena sesungguhnya yang di maksudkan dari aqidah itu adalah : “Olehku ( Allah ) telah terwujud sesuatu yang telah terwujud, olehku pula akan terwujud sesuatu yang akan terwujud”. وَلاَ يَكوُنُ كَذَلِكَ اِلاَّ مَنِ اتَّصَفَ بِصِفَاتِ الكَمَالِ وَتَنَزَهَ عَنْ صِفَاتِ النُّقْصاَنِ كَمَاكَرَّرَهُ بَعْضُ الأَئِمَّةِ التَّفْسِيْرِ Tidaklah huruf Ba mengandung makna Isyarat seperti demikian, kecuali makna Isyarat tersebut terdapat pada Dzat yang memiliki sifat sempurna serta tersucikan dari sifat-sifat yang kurang, sebagaimana kandungan makna seperti itu di tetapkan oleh para Ulama-Ulama tafsir. وَالأِسْمُ عِنْدَ البِصْرِيِّيْنَ مُشْتقٌ مِن السُّمْوٌ وَهُوَ العُلُوْ دوُنهُ ِِِِلأَنَّهُ يَعْلُوْ مُسَمَّاهُ Kalimat “Ismu” pada Bismillah menurut Ulama-ulama kota Bashroh (Iraq) adalah diambil dari kalimat “sumwun” artinya tinggi, kalimat ismu tidak di artikan selain makna tinggi karena makna tinggi memberikan pertanda Maha tinggi nama yang di sebutnya yaitu nama Allah Swt. وَاللهُ عَلَمٌ عَلىَ الذَّاتِ الواَجِبِ الوُجوُدِ المُسْتَحِقُّ بِجَامِيْعِ المَحَامِدِ Nama Allah adalah sebuah nama pada Dzat yang wajib wujudnya, Dzat yang paling berhak mendapat segala pujian. وَالرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ صِفَتاَنِ مَأْخوُذَتاَنِ مِنَ الرَّحْمَةِ بِمَعْنىَ الأِحْسَانِ لاَبِمَعْناَهَا الأَصْلِىِّ الَّذِىْ هُوَ رِقَّةٌ فىِ القَلْبِ تَقْتَضِىْ التَّفَضُّلَ وَالأِحْسَانَ ِلأِسْتِحَالَةِ ذَلِِكَ فىِ حَقِّهِ تَعَالىَ Kalimat “Arrohman Arrohiim” adalah dua buah sifat Allah yang di ambil dari kata “Arrohmah” artinya pemberi kebaikan, kedua kalimat tersebut tidak di artikan dengan makna “Arrohmah” yang sesungguhnya yaitu kasih sayang dari dalam hati yang menimbulkan memberi penghormatan dan kebaikan pada yang di sayanginya, karena kasih sayang timbul dari lubuk hati mustahil bagi Allah Swt, Allah tidak memiliki hati. 


Tamat

sumber internet
NAMA TUHAN SEBELUM BERNAMA ALLAH أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله   25 

Bismillahhirrahmannirrahim.. 
Menurut beberapa pesan dari Rasullallah di dalam banyak hadis terdapat beberapa sebab doa seseorang itu termakhbul. Di antaranya adalah di sebab kan tempat, ruang dan waktu. Salah satu tempat yang mustajab doa doa hamba yang bersungguh sungguh berdoa dan termakhbul adalah di Tanah Suci Mekah tepatnya di persekitaran KA'BAH. Manakala di antara tempat laian adalah di GUA HIRA’ dan yang terakhir adalah di antara malam malam bulan suci Ramadhan. Bagi kita yang tinggal di Asia tentulah untuk pergi ke Mekah dan berdoa di depan KA'BAH dan GUA HIRA memerlukan kos pembiayaan yang cukup mahal. Ini kerana biaya kos tempat tinggal dan perjalanan yang telah di tetapkan dengan kadar dollar atau dinar yang sekarang jauh lebih tinggi dari nilai nominal uang kita di Asia.Saya sangat yakin tidak semua orang yang bersungguh sungguh berdoa mampu untuk datang ke KA’BAH sebagai syariat memakhbulkan doa. Lalu hebatnya adalah bulan suci Ramadhan yang mendatangi kita bukan kita yang mendatangi nya,maka kenapa tidak kita gunakan kesempatan ruang dan waktu yang termakhbul ini untuk berdoa..? Sekarang tinggal kita memaknai kalimat bersungguh sungguh saja lagi sebab waktu maghbulnya iaitu bulan Ramadhan telah datang mengunjungi kita. Bersungguh sungguh dalam kalimat ini bermaksud dalam beberapa arti(makna). Yang pertama bersungguh sungguh itu bermakna kita istiqomah dalam berdoa. Istiqomah itu adalah berkelanjutan dan tanpa jemu dalam berdoa. Yang kedua bersungguh sungguh adalah bererti Haqqul Yakin. Haqqul Yakin di sini adalah bermaksud kita berdoa di atas aras keyakinan yang tinggi dalam berdoa. Agar lebih mudah memahami Haqqul Yakin itu bagaimana kita ambil contohnya kisah saperti dibawah ini. Kita datang di depan rumah seseorang lalu kita melihat dari luar rumah itu memang ada tuan rumah sedang bersembang(berbicara) dengan tetamu, walaupun kita tidak bertemu mata dengan pemilik rumah tapi kita mendengar dan melihat nya dari jauh bahawa pemilik rumah memang ada dalam rumah dan sedang menerima tamu, nah jika ada orang bertanya kepada kita,adakah tuan pemilik rumah berada di rumah maka kita boleh berkata "yakin" pemilik rumah itu memang ada di rumah walau pun kita tidak masuk ke rumahnya. Nah ini adalah standarisasi yakin, lalu jika kita memang masuk ke dalam rumah tersebut dan bertatap muka langsung dengan pemiliknya maka saat orang lain bertanya adakah pemilik rumah berada di rumah kepada kita maka kita akan dapat mengatakan "haqqul yakin" pemilik rumah itu ada di rumahnya sebab kita tadi memang bertemu langsung dengan pemilik rumah tadi. Nah silahkan aplikasi kan sendiri teknik ini dalam berdoa. Makna lain dari bersungguh sungguh itu adalah "menggunakan kalimat doa yang sangat khusus dan bertepatan energy dari kalimat ayat tadi dengan apa yang kita perlukan secara logic. Ketepatan dalam memilih ayat doa inilah menjadi punca dari termaghbulnya doa yang kita lantunkan. Nah dalam bulan suci Ramadhan ini kita tidak perlu mengeluarkan biaya sangat mahal untuk termaghbulnya doa dengan datang ke pada dua tempat tadi. Tempat dan waktu itu lah yang kini telah mendatangi kita. Sebagai dasar kaji nya begini: ALLAH memiliki ratusan Nabi dan Rasul kepada manusia dan jin sebagai penyampai risalah dan ayat-ayatnya dan yang wajib kita yakini dan ketahui adalah 25 Nabi dan Rasul saja dengan nabi penutup iaitu baginda Rasullallah Nabi Muhammad yang kepada beliau Tuhan berikan nama NYA khusus kepada beliau dengan nama Tuhan itu ALLAH. Sesungguhnya pada setiap nabi itu ALLAH berikan nama rahasia tuhan masing masing yang berbeza beza,sesuai dengan kerahasian dan kemampuan masing masing Nabi dan Rasul itu dalam menerima nama khusus tuhan tersebut. Maka sesungguhnya kita rasanya sangatlah patut mengetahui nama nama yang Tuhan berikan kepada 25 para Nabi tersebut,dan setahu saya banyak para ulama ulama besar yang mengetahui 25 nama tuhan sebelum bernama ALLAH ini dan selalu mereka lantunkan dalam zikir doa doa khusus mereka. Sebagai contoh tuhan sebelum bernama ALLAH ialah ZAITUL BAIDA namanya yang ia berikan kepada makhluk semula awal iaitu Nur Muhammad. Oleh sebab itulah Nabi Muhammad dengan Nabi Musa menyebut dan memanggil tuhan dengan nama yang berbeza namun zatnya sama atau satu jua. Sesungguhnya kedua puluh lima nama-nama tuhan sebelum bernama ALLAH ini terdapat dalam awalan JUZ AMA iaitu alif hingga ya, Huruf Hijaiyah dalam Juz Ama itu terdapat 30 huruf yang tertulis dengan huruf alif, lam, ha, wau dan sim sudah menjadi bagian dari nama tuhan ALLAH, Nah sekarang hanya tersisa 25 huruf sahaja lagi dari 25 huruf ini lah 25 nama tuhan itu bermula.
sumber internet
Pembagian nyawa & Arti Sukma

 أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

 Pembagian nyawa

 والروح ثلاثة اضرب اولها سلطانية و الثانى روحانية والثالث جسمانية فموضع السلطانية الفؤادى يعنى القلب وموضع الروحانية الكبد يعنى الصدر وموضع الجسمانية بين اللحم والدم وبين العظم والعروق فإن قيل إذا نام العبد خرج روحه ام لا؟ فإن قال قائل خرج فقد اخطأ وان قال لم يخرج فقد اخطأ . والجواب اذا نام العبد خرج روحه الجسمانى مع العقل ومشى بين السماء والارض فإن كان العقل معه رأى ما رأى فى المنام وإن لم يكن العقل معه رأى ما رأى ولكن لم يفهم 

Nyawa dibagi menjadi 3 1= sultoniyyah 2=ruhaniyyah 3= jismaniyyah sultoniyyah bermuara dihati,ruhaniyyah bermuara didada sedangkan jismaniyyh muaranya diantara daging dan darah dan diantara tulang dan otot-otot jika ditanya,ketika seorang hamba tidur,apakah nyawanya keluar apa tidak? jika ada yg menjawab keluar,maka salah,dan jika ada yg menjawab tidak keluar maka juga salah jawaban yg tepat adalah,ketika seorang hamba tidur maka ruh jismaniyyahnya keluar bersama akal dan berkeliling antara langit dan bumi,jika akal bersama ruh jismani maka seorang hamba tersebut tau/mengerti apa yg ia lihat dalam mimpi,dan jika akal tidak bersamanya maka seorang hamba tersebut tetap bisa melihat mimpi akan tetapi tidak faham
 -------- sukma فإن قيل ماالفرق بين الروح والروان؟ قلنا الروح لايذهب ولا يجئ والروان يذهب ويجئ وإذا زال الروان نام العبد وإذا زال الروح مات العبد 
Jika ditanya apa bedanya nyawa dan sukma? Maka kami jawab,nyawa itu tidak bisa keluar masuk sedangkan sukma bisa keluar masuk Jika sukma keluar maka seorang hamba tertidur/tak sadarkan diri dan jika nyawa keluar maka seorang hamba tadi jadi meninggal .
(sumber internet)
 
AL-HALLAJ (Biografi,karya,tasawuf, dan pemikirannya)

 Latar Belakang Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan ma’rifat dan tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik, seperti halnya Al Ghazali, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M). Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis dibahaskan, kerana pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis, kecuali hanya saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak dahulu. Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh Husein Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya yaitu paham hulul. Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi nadi. A. Biografi Al-Hallaj Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian distrik Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi yang merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat militer (dengan sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar dari Shiraz ke Khurasan untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Beliau dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas . Ayahnya adalah seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar al-Hallaj . Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz dan Tustar. Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah. Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal. Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk belajar kepada Sufi ‘Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873-879 M bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, ‘Amr al-Makki, dan Junaid al-Baghdadi. Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh ternama yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah menunaikan ibadah haji tiga kali selama hidupnya. Dalam perjalanan dan pengembaraan serta pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang membentuk pribadi dan pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicara ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Sampai-sampai seorang ulama fiqh terkemuka yang bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa paham dan ajaran al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini Al Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan dari seorang penjaga yang menaruh simpati padanya. Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309/921M diadakanlah persidangaan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum mati dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalakan tergantung pecahan-pecahan tubunhnya itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian dibakar tubuhnya dan abunya dihanyutkan di sungai Dajlah. Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya eksekusi “ekstra tragis” yang diterima al-Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut (disebat) seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal, tapi sebelum dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai sedangkan kepalnya di bawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat Islam dan sejarahnya. Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al-Hallaj, algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni orang banyak yang datang dari berbagai penjuru yang diperintahkan untuk melempari batu kepadanya. Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara dan hukuman mati, yaitu Ana Al Haqq (aku adalah Yang Maha benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah : “Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat”. Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya dengan tersenyum, bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah sucinya itu. Setelah itu para algojo memotong lidah dan mencukil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo kepada Allah “Mereka semua adalah hambaMu, mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agamaMu dan untuk mendekatkan diri kepadaMu. Maka ampunilah mereka. Andaikata Kau singkapkan kepada mereka apa yang Kau singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini.” Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Quran beserta pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadist serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Beliau merupakan seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan masih banyak lagi sifat kesalehannya. B. Karya – Karya Al-Hallaj Ibnu nadim seorang ahli riwayat ternama, yang banyak sekali membicarakan al-Hallaj dan menentang pendiriannya, mencatat bahwa karya-karya al-Hallaj tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Diantaranya adalah: 1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah. 2. Kitab Al Ushul wal Furu’. 3. Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts. 4. Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid. 5. Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana. 6. Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa. 7. Kitab “Hua, Hua”. 8. Kitab At Thawwasin. Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at-Taftazani, kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti. C. Filsafat Al-Hallaj Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga kadang dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di sekililing tiga hal, yaitu : 1. Hulul ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut). Secara etimologi Hulul memiliki sinonim dengan infusion yang bermakna “penyerapan” yakni menyerap keseluruh obyek yang dapat menerimanya (the infusion spreads to all part of the receptive object). Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Paham hulul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep hulul, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran hulul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh . Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuk-Nya. Teori ini nampak dalam syairnya: سبحان من اظهر ناسوته # سرّ سنا لاهوته الثاقب ثمّ بدا لخلقه ظاهرا # في صورة الأكل والشارب Maha suci dzat yang sifat kemanusiaannya membuka rahasia Ketuhanan-Nya yang gemilang Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata Dalam bentuk manusia yang makan dan minum Melalui syair diatas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa Allah memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula pada diri manusia juga terdapat dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Dengan demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Yang demikian ini merupakan bentuk pemahaman al-Hallaj dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi : Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: "Tunduklah (beri hormat) kepada Nabi Adam". lalu mereka sekaliannya tunduk memberi hormat melainkan Iblis; ia enggan dan takbur, dan menjadilah ia dari golongan Yang kafir. Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, maka al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam (manusia) sebenarnya terdapat unsur ketuhanan. Disisi lain, hal ini (sujud) dikarenakan pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma dalam diri Isa as. Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut : مزجت روحك في روحي كما # تمزج الخمرة بالماء الزلال فإذا مسّك مسّني # فإذا انت انا في كلّ حال انا من أهوى ومن أهوى انا # نحن روحان حلّلنا بدنا فإذا أبصرتني أبصرته # وإذا أبصرته أبصرتنا Telah bercampur rohMu dalam rohku Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu, Engkau adalah Aku, dalam segala hal Aku adalah ia yang kucintai dan ia yang ku cintai adalah aku Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh Jika engkau lihat aku, engkau lihat ia Dan jika engkau lihat ia, engkau lihat kami. Berdasarkan syair diatas, dapat diketahui bahwa persatuan antara Tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Yakni dengan terlebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya (nasut). Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan (lahut) yang ada pada dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun disisi lain al-Hallaj mengatakan: “Keinsananku tenggelam kedalam ketuhanan-Mu, tetapi tidaklah mungkin percampuran. Sebab ketuhanan-Mu itu senantiasa menguasai akan keinsananku. Barangsiapa yang menyangka bahwa ketuhanan bercampur keinsanan jadi satu, atau keinsanan masuk kedalam ketuhanan, maka kafirlah dia. Sebab Tuhan itu bersendiri dalam zat-Nya dan sifat-Nya daripada makhluk dan sifat-Nya pula. Tidaklah Tuhan serupa dengan manusia dalam rupa bentuk yang mana jua pun”. Dengan demikian, al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Seperti yang terlihat dala syairnya: انا سرّ الحقّ ما انا الحق # بل انا حقّ ففرّق بيننا Aku adalah yang Maha Benar Dan bukanlah yang Maha benar itu aku Aku hanya satu dari yang Maha Benar Maka bedakanlah aku dari yang Maha Benar Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena membari pengertian secara jelas bahwa adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau sekedar terlebarnya nasut kedalam lahut, dan diantara keduanya tetap ada perbedaan. Untuk lebih memahami doktrin hulul ini, lebih jelasnya dapat merujuk kepada rangkaian penjelasan al-Hallaj berikut ini : “Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senantiasa suci dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempat dalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan . Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk ”. 2. Al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Nur Muhammad) Menurut al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu , segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan . Dan dengan perantaraan Nur Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa diartika juga sebagai pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala Nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran dari Nur Muhammad. Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam. Paham tentang Nur Muhammad ini berdasar pada hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi, yaitu : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari cahayku”. Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabai (w638H) dan Abd.al Karim bin Ibrahim al Jili (w.811H) dalam kerangka ide Insan Kamil. Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al Hallaj dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud. 3. Wahdah al adyan (Kesatuan agama-agama) Inti ajaran dari Wahdah al adyan adalah sebenranya nama agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja. Nama berbeda, satu tujuan. Segala agama adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Paham Wahdah al-Adyan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni pahamnya al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya untuk berkesimpulan tentang kesatuan agama. Mengenai hal ini, ‘Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana dicatatkan oleh al-Taftazani sebagai berikut: “Suatu hari aku bertengkar dengan orang yahudi di pasar baghdad. Diapun ku maki: hai anjing. Ketika itu al-Hallaj lewat dan memandangku dengan geram. Dan tegurnya: jangan kau maki anjingmu. Dan diapun langsung pergi. Setelah pertengkaran itu, aku mencari al-Hallaj. Namun ketika ku temui, dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Lalu dia berkata: wahai sahabatku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Kerena itu, barangsiapa menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama saja halnya dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Ketahuilah ! agama-agama yahudi, islam dan yang lain-lainya adalah sebutan serta nama yang beraneka ragam dan berbeda. Akan tetapi tujuan tujuan semuanya tidak berbeda” . Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi lebih baik perdalamlah agama masing-masing. D. Pendapat Ulama Mengenai Pemikiran Al Hallaj Berbagai macamlah perkataan ulama tentang al-Hallaj. Sebagian mengkafirkan dan sebagian yang lain membela atau membenarkan. Beberapa perkataan, terutama dari pihak masa kekuasaan pada masa itu tersiar bahwa ajaran al-Hallaj sangat merusak ketentraman umum. Murid-muridnya sampai ada yang menyangka bahwa al-Hallaj adalah Tuhan, sebagaimana prasangkaan orang nasrani terhadap diri isa al-masih. Dia dianggap pandai menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit kusta. Muridnya kian lama kian banyak. Dan setelah diselidiki oleh penyelidik kerajaan, katanya dia mengadakan hubungan yang rapat dengan kaum karamithah, yaitu segolongan umat di abad ketiga dan keempat yang menyerupai faham komunis di indonesia. Sebab itu dia tidak mau mengakui kekuasaan pemerintahan yang sah. Dia mengakui sebagian kepercayaan kaum ismailiyyah bahwa imam yang sejati ialah imam yang ghaib. Dan lagi menurut beritra yang tersiar itu pula beliau menfatwakan bahwasannya naik haji yang lahir pergi ke mekkah itu tidaklah perlu dikerjakan. Sebab itu hanya memayah-mayahkan diri saja. Itu boleh diganti dengan haji yang lain, yaitu dengan haji rohani, dengan membersihkan diri dan jiwa dan tafakur mengingat Tuhan dalam khalwat, sehingga ka’bah itu sendirilah yang datang kedalam khalwatnya menemuinya. Disanapun dia boleh berthawaf. Memang, banyak di antara ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang sependapat dan membelanya. Kebanyakan Ulama fiqih mengkafirkannya. Dengan alasan bahwasanya mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan Tuhan adalah syirik yang amat besar. Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al Qayyim, Ibn an Nadim dan lain-lain berpendapat bahwa hukuman mati yang ditimpakan kepada Al Halaj memang patut diterimanya. Tetapi ulama-ulama fiqih yang lain seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang sangat terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa berkata apa-apa". Pembela-pembela Al Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang kepadanya. Syaikh Abdurrahman As Saqqaf salah seorang Syaikh tarikat Alawiyah, mengatakan bahwa dia sebelumnya menyangka pada diri Al Hallaj ada keretakan karena sikapnya, seperti keretakan pada kaca, tetapi setelah sampai pada maqam al qutbiyyah dia melihat bahwa Al Hallaj telah mencapai tingkat bila diandaikan buah dia telah matang. Imam Al Ghazali ketika ditanyai bagaimana pendapatnya tentang perkataan "ana al haq?". Beliau menjawab," Perkataan demikian yang keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah. Apabila cinta sudah demikian mendalamnya, tidak ada lagi rasa berpisah antara diri seseorang dengan seseorang yang dicintainya". Sehingga beliau, Jalaludin Rumi, dan Fariduddin al Attar memberinya julukan "Syahidul Haq" (seorang syahid yang benar). Beliau syekh Maftuh Basthul Birri salah satu masyayikh di ponpes Hidayatul Mubtadi’in (lirboyo) dalam bukunya yang berjudul Manaqib 50 Wali Agung mengatakan “Syekh al-Hallaj ini tinggi sekali ma’rifat dan ilmu haqiqatnya, jadzab dan cintanya dengan Allah seperti imam Abu Yazid al-Bustomi, sehingga beliau pernah berkata ANAL HAQ. Maka banyak orang yang ingkar karena tidak sampai kefahamannya”. Kesimpulan 1. Al-Hallaj merupakan seorang ahli sufi, filsuf, dan sekaligus wali Allah yang hidup pada masa khalifah al-muktadir billah dan beliau wafat karena dihukum mati untuk mempertanggung jawabkan ajarannya yang dianggap sesat oleh beberapa ulama’ khususnya fuqoha pada masa itu. 2. Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi beliau dihukum karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Beliau membuka rahasia tentang Tuhan dengan mengemukakan segala yang dianggap misteri tertinggi yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang terpilih saja. 3. Ajaran al-Hallaj yang mashur adalah hulul (ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut)), al-haqiiqah al-muhammadiyyah (nur Muhammad), dan wahdatul adyan (kesatuan semua agama). 4. Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan ilahi yang melingkupi makhluk-Nya. Yang berbicara Ana Al-Haq bukanlah al-Hallaj pribadi, melainkan Tuhan sendiri melalui mulut al-Hallaj.

TASAWUF DAN ILMU LADUNI

Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya. Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.

Hakikat Ilmu Laduni

Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.


Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat

Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur -seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.

Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya

1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman (artinya):
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya): “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul e adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun e tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya: “Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada di umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah e: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.

HADITS-HADITS DHO’IF DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT

Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
SUMBER :  internet